Disaat Sinar Mulai Redup

Monday, March 04, 2013

Ini adalah pengalaman aku saat aku, Rissa dan orang tua di rumah sakit.

Sudah hampir empat bulan Rissa bolak-balik pergi berobat ke klinik di kampus UI. Namun penyakitnya tak kunjung sembuh juga. Masih ingat saat itu, bulan November Rissa minta ditemenin ke rumah sakit. Namun, karena pekerjaan di kantor yang cukup padat dan deadline penggajian karyawan, aku tidak bisa menemaninya. Akhirnya Rissa pergi bersama Wiwik teman satu kosan kami. Sebelumnya, saat lebaran 2007, Rissa juga sudah melakukan pengobatan di rumah sakit Bukittinggi, namun dokter juga tidak menemui keganjalan dalam tubuhnya. Bahkan divonis radang tulang rawan.

Masih ingat permintaan terakhirnya di bulan Ramadhan 2007 untuk foto keluarga, dia minta agar secepatnya untuk dilakukan. Karena takut tahun depan dia tidak bisa ikut foto keluarga. Sebelum perkataan ini keluar dari mulutnya, dia juga pernah minta ke aku untuk nonton JGTC (Jazz Goes To Campuss) di UI, karena mungkin hanya ini waktu yang bisa dia miliki. Namun, aku menyesal karena tidak meng-iya-kan ajakannya.

Atas saran dari klinik UI, Rissa dirujuk ke Dokter bedah Rumah Sakit Negeri di Salemba. Dia pergi sendiri naik kereta Api dari Depok UI ke Salemba. Pengobatan berlangsung beberapa kali dan beberapa minggu mulai dari bulan Oktober 2007. Namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, bahkan terjadinya pembengkakan di bawah leher bagian depan, yang mengakibatkan susahnya bernafas saat tidur telentang. Sehingga jika Rissa tidur hanya bisa dengan posisi duduk bersandarkan bantal ke dinding.

CT Scan
Pada bulan Desember 2007, Rissa melakukan prosedur CT scan untuk melihat secara detail pembengkakan yang terjadi. Alat CT Scan adalah generator pembangkit sinar X yang bila dioperasikan oleh operator akan mengeluarkan sinar X dalam jumlah dan waktu tertentu. Cara kerjanya menggunakan sinar X yang akan melewati jaringan tubuh yang diperiksa dan ditangkap oleh detektor. Oleh karena adanya perbedaan masa organ tubuh yang dilewati maka gambaran yang ditangkap juga berbeda-beda densitasnya. Inilah yang akan direkonstruksi oleh sistim komputer yang canggih sehingga menghasilkan suatu potongan gambar organ tubuh.

Betapa terkejutnya kami karena prosedur yang serumit itu harus dilaluinya dan begitu banyaknya prosedur untuk mengobati penyakit yang dirasakan dalam tubuhnya. Saat kami masuk ke dalam ruangan CT Scan, semua pakaian kami harus steril sehingga harus ditutupi dengan jas ruangan. Tidak menyangka bahwa saat itu aku melihat langsung bagaimana proses CT scan berjalan, karena selama ini aku hanya melihat alat CT Scan melalui televisi. Saat itu juga aku pun berdoa, agar tidak ada hal yang dikuatirkan dari Rissa.

Beberapa hari kemudian hasilnya pun keluar. Kami pergi ke laboratorium di rumah sakit tersebut. Kami mencoba membuka hasilnya dengan perasaan was-was dan cemas. Kami berusaha memahami hasil tersebut dan tiba di suatu bagian yang menyatakan bahwa Rissa menderita Tumor Ganas Thymoma (kelenjer timus) atau Lymphoma (kelenjer getah bening). Hal ini memperlihatkan belum adanya kepastian akan jenis tumor yang diderita Rissa.

Ya Tuhan, saat itu juga kaki gemetar dan terduduk, air mata pun turun. Saat itu aku bilang itu tidak mungkin, hasilnya pasti tertukar, pasti bukan punya Rissa, semua alas an keluar dari mulutku, yang bisa membuatku tenang saat itu dengan menyangkal bahwa semuanya itu tidak benar. Namun Rissa tetap tenang, memang bawaannya yang sabar dan tenang.Dia meminta untuk kembali ke dokter memastikan hasil yang diperoleh. Namun sayang sekali, pemeriksaan Dokter sudah tutup. Kami bingung dan sedih, karena yang terpikir saat itu adalah penanganan dan pengobatan yang cepat untuk Rissa. Kami berusaha menenangkan diri dan mencari tempat duduk. Rissa pun menidurkan kepalanya di kakiku. Terasa air yang keluar dari matanya membasahi celanaku. Aku juga tidak kuasa menahan air mata ini keluar. Tetap kami mencari jalan keluar, saat itu yang terbayang adalah Rissa harus di rawat di rumah sakit.

Kami pun pergi ke ruang rawat inap di rumah sakit tersebut dan meminta agar Rissa di rawat hari ini juga. Namun kami ditolak, karena tidak ada surat rujukan dari Dokter. Kami putus asa, dan akhirnya kembali ke kosan. Dimana saat itu kami masih memutuskan untuk tidak membicarakan hal ini ke orang tua di Bukittinggi.

Pada malam harinya, aku berusaha menghibur rissa dengan main congklak yaitu permainan tradisional anak Indonesia. Dia hanya berkata, “Uni Ica ingin pulang ni ke bukittinggi, Ica nggak mau sakit di sini sambil menangis.” Aku berusaha menghiburnya dengan membuat lelucon yang lucu, namun aku tak kuasa menahan air mata dan langsung buru-buru ke toilet. Karena tidak ingin membuat adikku itu sedih.

Rissa, My Sister
Saat itu aku hanya berdoa, kenapa bukan aku yang menderita tumor, kenapa harus Rissa. Ini salahku karena sudah mengabaikan dan tidak memperhatikan adikku. Aku hanya sibuk dengan pekerjaan dan jarang meluangkan waktu untuk dia, kecuali Sabtu dan Minggu. Aku bekerja jauh di luar kota dan kos di sana. Sehingga selama kerja hari senin sampai dengan hari jumat, kami tinggal terpisah. Kadang karena kesibukan kerja kami bertemu hanya sekali dalam dua minggu.

Pagi hari, aku terbangun dan melihat Rissa tidur sambil duduk. Aku tidak kuasa menahan tangis, cemas dan takut. Akhirnya aku putuskan untuk menelpon orang tua. Sore harinya kedua orang tua kami langsung datang dari Bukittinggi. Sedangkan Rizki adik bungsuku tinggal di Bukittinggi untuk persiapan ujian.

Malam hari, aku melihat papa menangis di kamar, walau dia menutupinya. Dan mama yang berusaha tegar dan menghibur rissa. Ya Allah, ini cobaan berat sekali, tidak ingin melihat kedua orang tua kami sedih, karena kami belum pernah memberikan kebahagiaan untuk mereka.

Desember akhir adalah hari cuti besar, sehingga dokter di rumah sakit pun cuti. Kami tidak bisa diam dengan keadaan ini. Kami mengajak Rissa mencari obat tradisional di Sukabumi  Puncak. Perjalanan yang sangat jauh dan kami pun belum mengenal daerah tersebut. Kondisi Rissa yang semakin memburuk, namun tetap semangat untuk sembuh.

Akhirnya pada tanggal 26 Desember 2007, Rissa di rawat di rumah sakit di Salemba Jakarta. Sebelumnya pernah di tolak di rumah sakit swasta dengan alas an Rissa butuh penanganan yang cepat, sedangkan dokter di rumah sakit tersebut sedang mengambil cuti akhir tahun.
Saat di rumah sakit, Rissa tetap tegar, orang tua kami pun tetap sabar. Aku bolak-balik Purwakarta ke Jakarta Pusat karena pekerjaan. Masih ingat malam itu, tanggal 31 Desember 2007 jam 12 malam, dia memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada ku lewat sms. Dia masih ingat ulang tahunku tanggal 1 Januari padahal kondisinya yang sudah menurun. Ucapan selamat ulang tahun terakhir dari adikku tersayang.

Banyak hal yang dibutuhkan selama di rawat, dan tidak mungkin membiarkan orang tua kami melakukannya sendiri, pemeriksaan darah, rontgen, dan banyak hal lain yang harus dilakukan. Sehingga aku memutuskan untuk tidak masuk kerja beberapa hari. Walaupun resikonya adalah aku dikeluarkan dari perusahaan.

Selama di rawat, Rissa melakukan beberapa prosedur pemeriksaan serius seperti rontgen, MRI , Biopsi untuk mengambil sampel tumor tersebut. MRI dilakukan untuk melihat secara detail dan sensitif terhadap jaringan lunak yang ada dalam tubuhnya.

MRI( Magnetic Resonance Imaging ) merupakan suatu alat diagnostik untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa operasi, penggunaan sinar X, ataupun bahan radioaktif. Selama pemeriksan MRI akan memungkinkan molekul-molekul dalam tubuh bergerak dan bergabung untuk membentuk sinyal-sinyal. Sinyal ini akan ditangkap oleh antena dan dikirimkan ke komputer untuk diproses dan ditampilkan di layar monitor menjadi sebuah gambaran yang jelas dari struktur rongga tubuh bagian dalam.

Dan selanjutnya dokter menyarankan untuk melakukan operasi karena tumornya sudah mencapai stadium 3. Maka, pada tanggal 15 Januari 2008, operasi pun dilakukan. Operasi berlangsung cukup lama. Kami menunggu dengan penuh kecemasan dan ketakutan, kami selalu berdoa agar operasi berjalan lancar dan rissa pun bisa sembuh, Aku dan Rissa bisa bermain, bergurau dan berdebat seperi semula, dan kami pun bisa mewujudkan impian kami.
Setelah operasi berjalan, Rissa di bawa ke ruang ICCU, di tubuhnya dipasang alat-alat dan kabel yang aku tidak tahu untuk apa. Karena melihat kondisinya yang merasa tidak nyaman dan kesakitan dengan alat-alat tersebut dan aku ingin melepaskan alat tersebut.

Kami diperbolehkan masuk ke ruangan ICCU, tak kuasa menahan air mata, dosen dan teman-teman rissa yang selalu mendampingi dan memberikan dukungan untuk sembuh datang melihat keadaan rissa. Saat di ruangan, pertama aku lihat adalah tumor tersebut sudah tidak ada ditubuhnya. Aku cukup lega, walaupun belum tahu hasilnya.

Tak lama kemudian, dokter yang mengoperasikan Rissa pun memanggil kami, mereka menceritakan proses dan hasil operasi. Aku, dan kedua orang tua pun merasa cemas. Tak berapa lama, terlihat kesedihan dan kekecewaan yang terpancar di wajah mereka saat dokter tersebut mengatakan bahwa operasi gagal dilakukan. Mereka tidak bisa mengangkat tumor tersebut karena sudah kuat dan tumbuh sampai ke jantung dan paru-paru, jika diangkat akan fatal akibatnya.

Setelah Operasi
Saat itu juga kakiku gemetar dan air mata pun keluar. Dokter hanya bisa melakukan pemberian pembuluh buatan yang dipasang dari panggkal paha sampai leher, agar darah bisa mengalir lancar ke otak dan seluruh tubuhnya. Karena memang saat itu pembuluh darahnya sudah tersumbat oleh tumor tersebut. Dan dokter menyarankan untuk melakukan serangkaian pengobatan yaitu penyinaran dan kemoterapi, walaupun kemungkinan sembuh itu sangat kecil tidak sampai 40 %. Kami hanya pasrah dan berdoa, dan belum memberikan informasi tersebut kepada Rissa. Karena yang terpenting adalah Rissa membutuhkan semangat dan percaya diri untuk sembuh.

Beberapa hari kemudian, Rissa sudah bisa dipindahkan dari ruang ICCU ke ruangan rawat inap biasa. Kondisinya mulai membaik, dia juga senang karena tidak ada lagi pembengkakan di tubuhnya. Namun dia merasakan kesakitan,karena pembuluh buatan yang masih belum cocok di tubuhnya. Memang dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan pembuluh buatan tersebut di tubuhnya.

Rissa orang yang kritis dan cerdas, dia berani namun sabar. Saat dokter datang memeriksanya, dia langsung bertanya ke dokter tentang operasi yang sudah dilakukan apakah berhasil atau tidak dan tentang perkembangan penyakitnya, apakah sudah sembuh dan hilang. Namun dokter hanya menyarankan tetap semangat dan berdoa. Dan harus melakukan serangkaian pengobatan lainnya.

Beberapa hari setelah operasi, Rissa pun tahu bahwa operasinya tidak berhasil dan ditubuhnya terdapat benda asing yang menyakitkan. Namun dia tetap sabar dan semangat untuk sembuh demi meraih cita-citanya dan mimpi kami. Sempat saat di rumah sakit, aku berontak karena tubuhnya harus dilobangi dan diberi selang kecil untuk mengeluarkan cairan operasi yang masih tertinggal di tubuhnya.

Sebelum Rissa dioperasi, saat dia dirawat di ruangan rawat inap yang pertama, kami melihat pasien yang tubuhnya juga dipenuhi lobang yang tidak bisa menutup, bahkan makin membesar. Dan aku tidak ingin hal tersebut terjadi terhadap Rissa.

Hari berikutnya, banyak teman-teman dan dosen Rissa datang ke rumah sakit memberikan dukungan dan semangat pada Rissa. Dosen Rissa yang juga Dosen ku di Matematika pun juga sering memberikan semangat. Orang tua teman-teman Risa pun juga selalu datang memberikan semangat. Sungguh banyak hutang budi kami terhadap mereka.

Beberapa hari kemudian, Rissa pun sudah diperbolehkan pulang dan kami pun kembali ke kosan di Depok sambil menunggu perkembangan dan persiapan pengobatan selanjutnya.

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar