Di Indonesia, saat pertama kita mengenal dunia pendidikan kita
diajarkan untuk bernyanyi, mengenal huruf dan angka, serta menggambar. Sekolah
menyediakan berbagai alat-alat mewarnai, menulis hingga perlatan musik.
Semuanya penuh dengan warna-warna yang cerah yang sangat menarik perhatian
memandangnya. Dan ada satu hal yang mungkin kita tidak sadari semasa kecil,
saat guru menyuruh kita untuk membuat sebuah gambar, mungkin semua kita yang
pernah mengenyam pendidikan di Indonesia semasa kecil memiliki gambar yang
sama. Sebut saja jika disuruh menggambar pemandangan alam, ada dua gunung,
matahari di tengah, ada bintang padahal hari di siang hari, ada sawah dan jalan
yang membentang di tengah serta tak pernah lupa yaitu pohon kelapa. Mungkin
anda akan tersenyum jika mengingat hal ini kembali. Saya pun juga begitu,
setiap menggambar pasti membuat dua gunung kembar beserta pelengkapnya. Kadang
ditambah dengan burung dan awan di atas gunung.
Kalau kita disuruh menggambar seekor itik, ada sesuatu yang
unik di sini yang mungkin kita tidak menyadarinya. Jika orang luar melihat
gambar itik anak-anak Indonesia, mereka akan kaget kenapa itik Indonesia selalu
menghadap ke arah kiri? Kenapa tidak menghadap ke arah kanan. Mungkin sampai
sekarang masih melakukan hal yang sama di beberapa sekolah. Atau kenapa itiknya tidak sedang minum air.
Apa yang keliru dalam hal ini?
Apakah sistem pendidikan kita yang dari dulu lebih banyak
mengajarkan dan mendikte anak-anak sekolah untuk melakukan A atau melakukan B
atau pun Z. Sebut saja menggambar gunung kembar, di SD kita diajarkan oleh guru
membuat gambar gunung kembar beserta pelengkapnya, dan itu pun harus persis
sama untuk memperoleh nilai delapan. Begitu juga gambar itik, kita diajarkan
membuat gambar itik dimulai dari angka dua, sehingga gambar itik selalu
menghadap ke kiri. Kita hanya diajarkan dan didikte untuk meniru apa yang
diajarkan guru dan selalu berpikiran bahwa semua aturan guru adalah benar dan
harus ditiru. Jika tidak maka poin atau nilai pun akan dikurangi. Hal ini
menjadikan suasana yang tidak kreatif, hanya mengikuti dan berharap untuk
mendapatkan poin atau nilai dibandingkan mendapatkan ilmu.
Saat saya membuka tempat les kecil di rumah, saya pun kaget
saat mereka hafal sebuah bacaan berikut koma dan titiknya. Dan saat ditanya
dengan pertanyaan yang sedikit berbeda dibandingkan buku, mereka tidak mampu
menjawab pertanyaan tersebut. Karena mereka mengikuti dan menghafal, bukan memikirkan dan menganalisis
apa yang mereka baca dan pelajari. Tulisan ini bukan berarti menyalahkan atau
menyesalkan guru, namun memperlihatkan ada yang salah dalam sistem pendidikan
yang lebih cenderung mengajarkan anak-anak sekolah untuk mengikuti bukan untuk
berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga mereka bisa berkreasi menciptakan
sesuatu yang baru. Mungkin saat ini tidak semua sekolah yang masih melakukan
hal yang sama, terutama sekolah swasta yang memiliki visi dan misi yang berbeda
dengan sekolah negeri.
Selanjutnya, kenapa kita diajarkan semua materi di sekolah
baik ilmu alam, ilmu pasti maupun ilmu sosial. Dalam masa belajar yang sama,
semenjak usia 6 tahun, kita tidak diberikan kesempatan untuk fokus pada satu
bidang saja. Tapi kita diharuskan untuk menguasai semua bidang ilmu, sehingga
memaksa kita untuk mempelajarinya dan bahkan membuat kita bingung dan muak
dengan apa yang kita pelajari. Baru pada usia 15 tahun lebih kita diberi
kesempatan untuk fokus kepada satu bidang ilmu. Mungkin alasan awalnya bagus,
bahwa kita akan mampu menguasai semua ilmu pengetahuan dan menjadi bekal kita
kelak. Namun hal ini membuat kita jenuh dan bosan dalam belajar, sehingga
banyak siswa yang bolos dan bohong dalam belajar.
Jika kita bandingkan dengan pendidikan diluar negeri, mereka
diberikan kebebasan untuk fokus pada bidang minat mereka, sehingga itulah
banyak lahir manusia-manusia yang cerdas dan di usia muda sudah menjadi
profesor dan menciptakan suatu hal yang baru. Mereka diberi kebebasan untuk
mengembangkan ilmu mereka semaksimal mungkin. Di usia yang kurang dari 20
tahun, Mark Zuckerberg mampu menciptakan sebuah inovasi media sosial baru yang
hingga saat ini digunakan oleh seluruh umat manusia di dunia yaitu Facebook. Richard Branson
yang diberi kebebasan untuk memilih pendidikan atau bisnis. Di usia nya 16
tahun saat masih bersekolah, Richard sudah mampu menghasilkan majalah, yang
berjudul Student. Hingga saat ini dia terkenal dengan berbagai bidang usaha bisnis
yang dia geluti dengan label The Virgin.
Ini semua karena mereka diberi kebebasan untuk memfokuskan diri mereka
mempelajari apa yang mereka sukai, dan bahkan mereka tidak didoktrin atau tidak
didikte dalam hal pendidikan. Mereka mampu memberikan ide-ide yang kreatif dan
inovatif hingga mereka mampu menghasilkan
sesuatu yang luar biasa dan sangat berguna bagi orang lain.
Bagaimana dengan kita yang sudah terlanjur mengenyam
pendidikan yang selalu mendikte dan menyuruh kita untuk meniru bukan untuk
merobah atau mencipta sesuatu yang lebih baik. Saat saya mengajar mahasiswa di
kampus pun mereka lebih cenderung untuk mengikuti pola apa yang saya ajarkan,
mereka menganggap semua yang saya ajarkan adalah benar. Mereka tidak meyakini
kebenaran jika disuruh untuk mencari informasi dan ilmu terkait pada media
lainnya. Mereka hanya percaya dengan apa yang saya sampaikan. Sekali lagi
mungkin ini masih banyak terjadi di daerah-daerah selain kampus-kampus di
kota-kota besar. Karena dari semasa sekolah dasar, ilmu selalu diberikan
layaknya anak bayi yang makan disuapi. Jika tidak ada suapan nasi ke mulut bayi
mungil maka dia tidak akan makan dan menangis jika lapar atau diam jika kenyang.
Bayi tidak mampu menyuap nasi sendiri walaupun dalam keadaan sangat lapar.
Semua yang keliru dalam hal ini memang sulit untuk dirubah,
hal yang sudah terbiasa bahkan sejak ratusan tahun lalu. Jadi kita sebagai
pengajar atau kita sebagai pelajar wajib untuk saling mengingatkan dan
memperbaiki atau merobah hal-hal yang sudah tidak tepat lagi digunakan untuk
diganti dengan sesuatu yang baru yang lebih inovatif dan cerdas agar terlahir
manusia-manusia yang luar biasa dengan semua kreatifitas ciptaannya yang
bermanfaat bagi khalayak ramai.
Kebiasaan ini akan berlanjut di berbagai bidang lainnya, sebut
saja dalam pemilihan jenis pekerjaan. Sebagian daerah lebih cenderung untuk bekerja
sebagai pegawai pemerintah, sebagian lagi keluar negeri sebagai pembantu,
jarang yang ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan berbagai
alasan yang menyanggahnya. Karena di mindset kita yang tidak pernah tertanam
untuk memiliki daya cipta dan percaya diri dalam melakukan sebuah inovasi yang
luar biasa. Kita tidak diajarkan untuk bagaimana menghadapi resiko, namun kita diajarkan untuk menghindari resiko, sehingga kita tidak berani untuk memulainya. Banyak orang Indonesia sebagai pengikut, sebagai pegawai,
sebagai pembantu dan bahkan budak dari majikannya yang selalu mencari perhatian
layaknya penjilat mengharapkan kesenangan dari majikannya.
Akan kah kita terus bertahan dalam keadaan seperti ini?
by MEYF
^_^
0 Komentar