Aku Tahu Kau Akan Selalu Menjagaku (I Know You Will Always Take Care Of Me)

Friday, February 22, 2013
This is my sister letter, She got a Lymph Cancer. She wrote before she passed away...

14 Januari 2008….

“MbakRissa bangun.. Itu mamanya”, terdengar suara dokter Intan. Dokter muda dan cantik, sedang mengambil spesialis dan residen di RSCM. Perlahan-lahan aku mencoba membuka mataku. Tapi kenapa berat sekali ya. Terlihat mama, papa dan Kak Melly sedang melihat sedih padaku. Matanya sembab, aku mau tersenyum dan bilang aku baik-baik saja, tapi bibir ini terasa berat. “Alhamdulillah ya Allah. Operasinya telah selesai dan aku selamat”. Tidak lama, aku tertidur lagi. 

Sebenarnya tidak tidur juga sih, tapi mataku tidak bisa kompromi. aku langsung tertidur. Samar-samar aku mendengar dokter bilang “Dia minum apa sih. Kok lama banget ya tidurnya”.Tak lama setelah itu, datang lagi sepupuku Ni Ria dan Da Un (orang Padang menyebut kakak perempuan Uni atau disingkat Ni dan kakak laki-laki Uda atau disingkat Da). Aku dibangunkan lagi, dan sekarang sudah berada di ruang ICU Toraks RSCM. Kemudian disusul lagi dengan teman kuliahku Arya dan ibunya Bu Leli. 

Waktu itu aku hanya bisa melihat saja mungkin dengan sedikit senyum yang tersungging di bibir. Setidaknya aku merasa memberikan senyum pada mereka yang datang. Sedikit-demi sedikit aku mulai tersadar. Aku melihat badanku, yang semuanya dipenuhi kabel. Ada tali infuse, pengukur detak jantung, mulutku juga ditutup dengan alat Bantu pernafasan, dan banyak lagi tali-tali lainnya yang bikin aku juga bingung. Tapi yang jelas aku melihat bagian dadaku yang semula bengkak sekarang telah rata. Alhamdulillah… berarti operasinya berhasil. Tapi aku bingung, yang dioperasi kan dada kok yang yang diperban malah dari leher sebelah kanan sampai hampir mencapai pusar ya. Apa sel kankernya sudah menyerang sejauh itu? Dan aku lihat kedua tanganku bengkak dan terasa berat.

Yap… Aku menjalani operasi toraks karena ada pembengkakan di bagian dada superior. Setelah melakukan CT Scan, aku didiagnosa limfoma atau timoma yang telah mencapai sub cutan (lapisan kulit paling luar) dan mendestruksi tulang sternum. Dan setelah menjalani biopsy ternyata aku mengidap timoma. Artinya ada tumor di kelenjar timusku. Dan akhinya aku menjalani operasi.

Aku terbangun lagi karena aku merasa ada yang meraba kakiku. Ternyata papa sedang mencoba mengurut kakiku. Papa kelihatan sedih sekali. Dan mama, matanya bengkak. Uni Melly juga matanya merah. Semuanya diam dan muram. Apakah mereka terharu? “Hei aku kan sudah selesai operasi dan aku baik-baik saja kan sekarang”, ingin rasanya meneriakkan kata-kata itu pada mereka tapi mulut ini serasa disumpal apalagi waktu itu aku pakai oksigen.

Aku tertidur lagi dan entah jam berapa aku terbangun. Nafasku sesak, aku bingung, panic dan sepertinya lupa bagaimana caranya bernafas. Aku mencoba menghirup nafas dari hidung sekuat tenaga tetapi paru-paruku terasa masih kosong dan tidak ada udara yang melewati kerongkongan. Aku mencoba memanggil dokter atau suster, pokoknya orang yang berada di sekitar ruangan itu. Akhirnya ada yang melihatku, dan bertanya “ada apa Rissa”. Aku mau bilang “aku susah nafas” tapi suaraku tidak keluar. 

Akhirnya aku menggunakan tanganku dan menunjuk-nunjuk ke arah hidungku. Semuanya bingung dengan maksudku dan aku pun juga bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Akhirnya ada yang mengerti juga. “Mau melepasin alatnya?”. Aku mengangguk. Susternya mendekatiku, “belum bisa sayang”. “Coba nafas seperti biasa. Kembangkan dadanya, terus lepaskan, aku mendengar tarikan nafas berat yang mengiringi nafasku tapi itu tidak keluar dari hidungku, ternyata dari alat bantu nafas yang dipasangkan padaku. 

Hanya bertahan beberapa saat, aku merasa sesak dan sukar bernafas lagi. Kali ini benar-benar tidak bisa kompromi. Karena merasa tidak digubris, akhirnya aku mulai memberontak dengan sekuat tenaga, mengoyang-goyangkan (dipan) tempat tidurku, dan melepaskan beberapa kabel pengukur detak jantung. Aku tidak peduli, yang aku tahu waktu itu aku sukar bernafas. Seorang suster datang menghampiri dan mulai mengikat tali di kakiku. “Ada apa ini? Kenapa diikat?”, teriak seorang dokter. “Biar nggak lepas lagi dok”, kata susternya. “Nggak usah. Kasihan, nggak perlulah sampai diikat”. “Maaf dok”, kata susternya. 

Sang suster menghampiriku dan bilang “Kamu agamanya islam kan?” Aku mengangguk. “Kalau begitu ngucap. Berzikir ya.. Yang sabar aja.”Sedikit tenang, aku bertabih pada Allah. Tapi tetap tidak berlangsung lama. Dari seberang aku mendengar para dokter ingin melepaskan alat itu, tapi ragu karena takutnya paru-paruku belum kembang. Jika belum kembali ke ukuran semula dan dilepaskan maka alat itu akan dipasang lagi dan aku akan merasakan sakit yang ke dua. 

“Tapi udah di rongentkan tadi?”. “Iya”. “Udah berapa lama? Kok hasilnya belum ada juga”. “Tadi udah diminta sama keluarganay tapi maish belum datang”. “Ya udah kalau begitu Tanya sama keluarganya”. “Nggak ada. Keluarganya nggak ada di luar. Cuma barangnya aja”. “Mungkin makan kali. Dari tadi udah capek”. Iya terus gimana nih. Buka aja, kasihan tadi waktu dipasangin dia belum sadar, sekarang setelah sadar pasti terasa sakit. “Gua nggak berani.” Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja pengukur kembang-kempisnya paru-paru tersebut hanya bergerak separonya yang artinya paru-paruku...

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar