Ini adalah pengalaman aku saat aku, Rissa dan orang tua
di rumah sakit.
Sudah hampir empat bulan Rissa bolak-balik pergi berobat
ke klinik di kampus UI. Namun penyakitnya tak kunjung sembuh juga. Masih ingat
saat itu, bulan November Rissa minta ditemenin ke rumah sakit. Namun, karena pekerjaan
di kantor yang cukup padat dan deadline
penggajian karyawan, aku tidak bisa menemaninya. Akhirnya Rissa pergi bersama
Wiwik teman satu kosan kami. Sebelumnya, saat lebaran 2007, Rissa juga sudah
melakukan pengobatan di rumah sakit Bukittinggi, namun dokter juga tidak menemui
keganjalan dalam tubuhnya. Bahkan divonis radang tulang rawan.
Masih ingat permintaan terakhirnya di bulan Ramadhan 2007
untuk foto keluarga, dia minta agar secepatnya untuk dilakukan. Karena takut
tahun depan dia tidak bisa ikut foto keluarga. Sebelum perkataan ini keluar
dari mulutnya, dia juga pernah minta ke aku untuk nonton JGTC (Jazz Goes To Campuss) di UI, karena
mungkin hanya ini waktu yang bisa dia miliki. Namun, aku menyesal karena tidak
meng-iya-kan ajakannya.
Atas saran dari klinik UI, Rissa dirujuk ke Dokter bedah
Rumah Sakit Negeri di Salemba. Dia pergi sendiri naik kereta Api dari Depok UI
ke Salemba. Pengobatan berlangsung beberapa kali dan beberapa minggu mulai dari
bulan Oktober 2007. Namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, bahkan terjadinya
pembengkakan di bawah leher bagian depan, yang mengakibatkan susahnya bernafas
saat tidur telentang. Sehingga jika Rissa tidur hanya bisa dengan posisi duduk
bersandarkan bantal ke dinding.
CT Scan |
Pada bulan Desember 2007, Rissa melakukan prosedur CT scan
untuk melihat secara detail pembengkakan yang terjadi. Alat CT Scan adalah
generator pembangkit sinar X yang bila dioperasikan oleh operator akan
mengeluarkan sinar X dalam jumlah dan waktu tertentu. Cara kerjanya menggunakan
sinar X yang akan melewati jaringan tubuh yang diperiksa dan ditangkap oleh detektor.
Oleh karena adanya perbedaan masa organ tubuh yang dilewati maka gambaran yang
ditangkap juga berbeda-beda densitasnya. Inilah yang akan direkonstruksi oleh sistim
komputer yang canggih sehingga menghasilkan suatu potongan gambar organ tubuh.
Betapa terkejutnya kami karena prosedur yang serumit itu
harus dilaluinya dan begitu banyaknya prosedur untuk mengobati penyakit yang
dirasakan dalam tubuhnya. Saat kami masuk ke dalam ruangan CT Scan, semua
pakaian kami harus steril sehingga harus ditutupi dengan jas ruangan. Tidak
menyangka bahwa saat itu aku melihat langsung bagaimana proses CT scan berjalan,
karena selama ini aku hanya melihat alat CT Scan melalui televisi. Saat itu
juga aku pun berdoa, agar tidak ada hal yang dikuatirkan dari Rissa.
Beberapa hari kemudian hasilnya pun keluar. Kami pergi ke
laboratorium di rumah sakit tersebut. Kami mencoba membuka hasilnya dengan
perasaan was-was dan cemas. Kami berusaha memahami hasil tersebut dan tiba di
suatu bagian yang menyatakan bahwa Rissa menderita Tumor Ganas Thymoma (kelenjer timus) atau Lymphoma (kelenjer getah bening). Hal
ini memperlihatkan belum adanya kepastian akan jenis tumor yang diderita Rissa.
Ya Tuhan, saat itu juga kaki gemetar dan terduduk, air mata
pun turun. Saat itu aku bilang itu tidak mungkin, hasilnya pasti tertukar,
pasti bukan punya Rissa, semua alas an keluar dari mulutku, yang bisa membuatku
tenang saat itu dengan menyangkal bahwa semuanya itu tidak benar. Namun Rissa tetap
tenang, memang bawaannya yang sabar dan tenang.Dia meminta untuk kembali ke
dokter memastikan hasil yang diperoleh. Namun sayang sekali, pemeriksaan Dokter
sudah tutup. Kami bingung dan sedih, karena yang terpikir saat itu adalah penanganan
dan pengobatan yang cepat untuk Rissa. Kami berusaha menenangkan diri dan
mencari tempat duduk. Rissa pun menidurkan kepalanya di kakiku. Terasa air yang
keluar dari matanya membasahi celanaku. Aku juga tidak kuasa menahan air mata
ini keluar. Tetap kami mencari jalan keluar, saat itu yang terbayang adalah
Rissa harus di rawat di rumah sakit.
Kami pun pergi ke ruang rawat inap di rumah sakit
tersebut dan meminta agar Rissa di rawat hari ini juga. Namun kami ditolak,
karena tidak ada surat rujukan dari Dokter. Kami putus asa, dan akhirnya
kembali ke kosan. Dimana saat itu kami masih memutuskan untuk tidak membicarakan
hal ini ke orang tua di Bukittinggi.
Pada malam harinya, aku berusaha menghibur rissa dengan main
congklak yaitu permainan tradisional anak Indonesia. Dia hanya berkata, “Uni
Ica ingin pulang ni ke bukittinggi, Ica nggak mau sakit di sini sambil
menangis.” Aku berusaha menghiburnya dengan membuat lelucon yang lucu, namun aku
tak kuasa menahan air mata dan langsung buru-buru ke toilet. Karena tidak ingin
membuat adikku itu sedih.
Rissa, My Sister |
Saat itu aku hanya berdoa, kenapa bukan aku yang
menderita tumor, kenapa harus Rissa. Ini salahku karena sudah mengabaikan dan
tidak memperhatikan adikku. Aku hanya sibuk dengan pekerjaan dan jarang
meluangkan waktu untuk dia, kecuali Sabtu dan Minggu. Aku bekerja jauh di luar
kota dan kos di sana. Sehingga selama kerja hari senin sampai dengan hari jumat,
kami tinggal terpisah. Kadang karena kesibukan kerja kami bertemu hanya sekali
dalam dua minggu.
Pagi hari, aku terbangun dan melihat Rissa tidur sambil
duduk. Aku tidak kuasa menahan tangis, cemas dan takut. Akhirnya aku putuskan
untuk menelpon orang tua. Sore harinya kedua orang tua kami langsung datang dari
Bukittinggi. Sedangkan Rizki adik bungsuku tinggal di Bukittinggi untuk
persiapan ujian.
Malam hari, aku melihat papa menangis di kamar, walau dia
menutupinya. Dan mama yang berusaha tegar dan menghibur rissa. Ya Allah, ini
cobaan berat sekali, tidak ingin melihat kedua orang tua kami sedih, karena
kami belum pernah memberikan kebahagiaan untuk mereka.
Desember akhir adalah hari cuti besar, sehingga dokter di
rumah sakit pun cuti. Kami tidak bisa diam dengan keadaan ini. Kami mengajak
Rissa mencari obat tradisional di Sukabumi
Puncak. Perjalanan yang sangat jauh dan kami pun belum mengenal daerah
tersebut. Kondisi Rissa yang semakin memburuk, namun tetap semangat untuk
sembuh.
Akhirnya pada tanggal 26 Desember 2007, Rissa di rawat di
rumah sakit di Salemba Jakarta. Sebelumnya pernah di tolak di rumah sakit
swasta dengan alas an Rissa butuh penanganan yang cepat, sedangkan dokter di
rumah sakit tersebut sedang mengambil cuti akhir tahun.
Saat di rumah sakit, Rissa tetap tegar, orang tua kami
pun tetap sabar. Aku bolak-balik Purwakarta ke Jakarta Pusat karena pekerjaan.
Masih ingat malam itu, tanggal 31 Desember 2007 jam 12 malam, dia memberikan
ucapan selamat ulang tahun kepada ku lewat sms. Dia masih ingat ulang tahunku
tanggal 1 Januari padahal kondisinya yang sudah menurun. Ucapan selamat ulang
tahun terakhir dari adikku tersayang.
Banyak hal yang dibutuhkan selama di rawat, dan tidak
mungkin membiarkan orang tua kami melakukannya sendiri, pemeriksaan darah,
rontgen, dan banyak hal lain yang harus dilakukan. Sehingga aku memutuskan
untuk tidak masuk kerja beberapa hari. Walaupun resikonya adalah aku
dikeluarkan dari perusahaan.
Selama di rawat, Rissa melakukan beberapa prosedur pemeriksaan
serius seperti rontgen, MRI , Biopsi untuk mengambil sampel tumor tersebut. MRI
dilakukan untuk melihat secara detail dan sensitif terhadap jaringan lunak yang
ada dalam tubuhnya.
MRI( Magnetic Resonance
Imaging ) merupakan suatu alat diagnostik untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan
menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa
operasi, penggunaan sinar X, ataupun bahan radioaktif. Selama pemeriksan MRI
akan memungkinkan molekul-molekul dalam tubuh bergerak dan bergabung untuk
membentuk sinyal-sinyal. Sinyal ini akan ditangkap oleh antena dan dikirimkan
ke komputer untuk diproses dan ditampilkan di layar monitor menjadi sebuah
gambaran yang jelas dari struktur rongga tubuh bagian dalam.
Dan selanjutnya dokter
menyarankan untuk melakukan operasi karena tumornya sudah mencapai stadium 3.
Maka, pada tanggal 15 Januari 2008, operasi pun dilakukan. Operasi berlangsung
cukup lama. Kami menunggu dengan penuh kecemasan dan ketakutan, kami selalu
berdoa agar operasi berjalan lancar dan rissa pun bisa sembuh, Aku dan Rissa
bisa bermain, bergurau dan berdebat seperi semula, dan kami pun bisa mewujudkan
impian kami.
Setelah operasi berjalan, Rissa
di bawa ke ruang ICCU, di tubuhnya dipasang alat-alat dan kabel yang aku tidak
tahu untuk apa. Karena melihat kondisinya yang merasa tidak nyaman dan kesakitan
dengan alat-alat tersebut dan aku ingin melepaskan alat tersebut.
Kami diperbolehkan masuk ke
ruangan ICCU, tak kuasa menahan air mata, dosen dan teman-teman rissa yang
selalu mendampingi dan memberikan dukungan untuk sembuh datang melihat keadaan
rissa. Saat di ruangan, pertama aku lihat adalah tumor tersebut sudah tidak ada
ditubuhnya. Aku cukup lega, walaupun belum tahu hasilnya.
Tak lama kemudian, dokter
yang mengoperasikan Rissa pun memanggil kami, mereka menceritakan proses dan
hasil operasi. Aku, dan kedua orang tua pun merasa cemas. Tak berapa lama, terlihat
kesedihan dan kekecewaan yang terpancar di wajah mereka saat dokter tersebut
mengatakan bahwa operasi gagal dilakukan. Mereka tidak bisa mengangkat tumor
tersebut karena sudah kuat dan tumbuh sampai ke jantung dan paru-paru, jika
diangkat akan fatal akibatnya.
Setelah Operasi |
Saat itu juga kakiku gemetar
dan air mata pun keluar. Dokter hanya bisa melakukan pemberian pembuluh buatan
yang dipasang dari panggkal paha sampai leher, agar darah bisa mengalir lancar
ke otak dan seluruh tubuhnya. Karena memang saat itu pembuluh darahnya sudah
tersumbat oleh tumor tersebut. Dan dokter menyarankan untuk melakukan
serangkaian pengobatan yaitu penyinaran dan kemoterapi, walaupun kemungkinan
sembuh itu sangat kecil tidak sampai 40 %. Kami hanya pasrah dan berdoa, dan
belum memberikan informasi tersebut kepada Rissa. Karena yang terpenting adalah
Rissa membutuhkan semangat dan percaya diri untuk sembuh.
Beberapa hari kemudian, Rissa
sudah bisa dipindahkan dari ruang ICCU ke ruangan rawat inap biasa. Kondisinya
mulai membaik, dia juga senang karena tidak ada lagi pembengkakan di tubuhnya.
Namun dia merasakan kesakitan,karena pembuluh buatan yang masih belum cocok di
tubuhnya. Memang dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan pembuluh
buatan tersebut di tubuhnya.
Rissa orang yang kritis dan
cerdas, dia berani namun sabar. Saat dokter datang memeriksanya, dia langsung
bertanya ke dokter tentang operasi yang sudah dilakukan apakah berhasil atau
tidak dan tentang perkembangan penyakitnya, apakah sudah sembuh dan hilang. Namun
dokter hanya menyarankan tetap semangat dan berdoa. Dan harus melakukan
serangkaian pengobatan lainnya.
Beberapa hari setelah
operasi, Rissa pun tahu bahwa operasinya tidak berhasil dan ditubuhnya terdapat
benda asing yang menyakitkan. Namun dia tetap sabar dan semangat untuk sembuh
demi meraih cita-citanya dan mimpi kami. Sempat saat di rumah sakit, aku
berontak karena tubuhnya harus dilobangi dan diberi selang kecil untuk mengeluarkan
cairan operasi yang masih tertinggal di tubuhnya.
Sebelum Rissa dioperasi, saat
dia dirawat di ruangan rawat inap yang pertama, kami melihat pasien yang
tubuhnya juga dipenuhi lobang yang tidak bisa menutup, bahkan makin membesar. Dan
aku tidak ingin hal tersebut terjadi terhadap Rissa.
Hari berikutnya, banyak
teman-teman dan dosen Rissa datang ke rumah sakit memberikan dukungan dan
semangat pada Rissa. Dosen Rissa yang juga Dosen ku di Matematika pun juga
sering memberikan semangat. Orang tua teman-teman Risa pun juga selalu datang memberikan
semangat. Sungguh banyak hutang budi kami terhadap mereka.
Beberapa hari kemudian, Rissa
pun sudah diperbolehkan pulang dan kami pun kembali ke kosan di Depok sambil menunggu
perkembangan dan persiapan pengobatan selanjutnya.